Kekerasan di Dunia Pendidikan: Kenapa Masih Terjadi?
Kekerasan di dunia pendidikan menjadi isu serius yang terus menghantui sekolah-sekolah di Indonesia. Meskipun pendidikan seharusnya menjadi tempat tumbuhnya karakter dan rasa empati, kenyataannya praktik kekerasan — baik fisik, verbal, maupun psikis — masih kerap muncul. Laporan tahun 2024 menunjukkan bahwa kasus kekerasan di sekolah melonjak drastis dibanding tahun sebelumnya.
Penyebab kekerasan di dunia pendidikan itu beragam. Dalam laporan ini, kami merinci lima alasan mengapa kekerasan masih menyelimuti dunia pendidikan serta upaya-upaya penting yang sedang ditempuh untuk mengatasinya.

1. Lonjakan Kasus dan Pelaku Utama adalah Guru
Salah satu faktor utama kekerasan di dunia pendidikan adalah peran guru sebagai pelaku. Data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menunjukkan bahwa dari 573 kasus kekerasan di sekolah sepanjang 2024, lebih dari 43,9% pelaku adalah guru atau tenaga kependidikan.
Angka ini mencerminkan paradoks: di sekolah, figur yang seharusnya membimbing dan memberi rasa aman justru menjadi sumber ancaman. Tingginya jumlah kasus memperkuat desakan agar pendekatan disiplin di sekolah berubah ke arah yang lebih manusiawi.
2. Jenis Kekerasan yang Beragam dan Kompleks
“Kekerasan” bukanlah satu hal tunggal. Di dunia pendidikan, bentuknya bisa sangat beragam:
- Kekerasan seksual: 42% dari total kasus di 2024.
- Perundungan (bullying): sekitar 31%.
- Kekerasan fisik: sekitar 10%.
- Kekerasan psikis: sekitar 11%.
- Diskriminasi kebijakan: 6%.
Keragaman jenis ini menunjukkan bahwa tidak cukup hanya mengatasi satu bentuk kekerasan — intervensi harus menyasar banyak ranah.
3. Sistem Pelaporan yang Semakin Terbuka
Salah satu sisi positif dari meningkatnya kasus adalah kesadaran sekolah dan komunitas semakin terbuka untuk melaporkan insiden kekerasan. Menurut Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), peningkatan laporan tidak selalu menandakan bahwa kekerasan semakin parah, tetapi bisa jadi lebih banyak orang berani bersuara.
Sebagai bagian dari respons, pada awal 2025 Kemendikdasmen membentuk 27 task force di tingkat satuan pendidikan untuk mencegah dan menangani kekerasan di sekolah. Tim ini bekerja sama dengan dinas pendidikan daerah, polisi, dan lembaga perlindungan anak.
4. Kebutuhan Guru dengan Kompetensi Bimbingan Konseling (BK)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan bahwa guru harus memiliki kompetensi BK (Bimbingan dan Konseling) guna mencegah kekerasan di dunia pendidikan.
Dengan kemampuan BK, guru dapat berfungsi lebih sebagai mentor dan pendamping anak, bukan figur otoritatif yang dipandang sebagai hukuman. Ini penting agar siswa memiliki ruang aman untuk mengungkapkan masalah dan konflik tanpa takut dipidana atau dipukul.
5. Kolaborasi antara Sekolah, Orang Tua, dan Masyarakat
Langkah preventif tak bisa hanya diemban sekolah sendiri. Wamen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) pernah menekankan pentingnya kerja sama guru dan orang tua untuk memberantas kekerasan di dunia pendidikan.
Kemendikdasmen bahkan mendorong agar setiap sekolah membentuk tim pencegahan dan penanganan kekerasan yang melibatkan siswa, orang tua, guru, polisi, dan lembaga perlindungan anak. Dengan kolaborasi ini, diharapkan ada strategi holistik yang tak hanya menangani kasus suara per suara, tetapi mencegah budaya kekerasan berkembang.
Risiko Jika Kekerasan di Dunia Pendidikan Dibiarkan
Kekerasan, meski terkadang dianggap “metode disiplin”, dapat menimbulkan dampak jangka panjang:
- Trauma psikologis: Anak yang hidup dalam ketakutan bisa mengembangkan kecemasan, rendah diri, atau gangguan mental lain.
- Hilangnya kepercayaan: Guru dan institusi pendidikan seharusnya menjadi figur kepercayaan, bukan sumber ancaman.
- Penghambat karakter positif: Pendidikan sejati bertujuan menumbuhkan nilai-nilai luhur, seperti empati, kritis, dan integritas — nilai-nilai ini sulit tumbuh di lingkungan penuh intimidasi.
- Risiko sosial: Korban bullying atau kekerasan dapat menjadi pelaku kekerasan di masa depan, jika tidak ada intervensi.
Apa yang Bisa Dilakukan Semakin Sekarang?
Untuk menurunkan angka kekerasan di dunia pendidikan, berbagai pihak bisa dan sudah bergerak:
- Penguatan sistem BK di sekolah: Sekolah harus menjadikan guru BK sebagai bagian integral dari pembinaan karakter.
- Pelatihan guru: Melatih guru agar menerapkan disiplin tanpa kekerasan.
- Pemantauan dan intervensi rutin: Task force anti-kekerasan di sekolah perlu aktif, bukan hanya formalitas.
- Kampanye kesadaran: Orang tua, siswa, dan masyarakat perlu disadarkan bahwa kekerasan bukan cara mendidik.
- Pelaporan mudah dan aman: Buat kanal pengaduan yang aman bagi siswa dan orang tua, sehingga kasus bisa diungkap tanpa takut pembalasan.
Kekerasan di dunia pendidikan masih menjadi masalah serius di Indonesia. Data terbaru menunjukkan jumlah kasus meningkat, dengan pelaku utama adalah guru. Namun, semakin banyak orang mulai berbicara dan melaporkan. Kementerian Pendidikan telah membentuk task force di ribuan sekolah, dan KPAI mendesak agar kompetensi BK semakin diperkuat. Semua ini menjadi sinyal bahwa perubahan sistem mulai dilakukan — tetapi perlu kerja sama lebih erat antara sekolah, guru, orang tua, dan pemerintah agar sekolah benar-benar menjadi tempat aman dan penuh kasih.
Jika kita dapat menjauhkan kekerasan dari pendidikan, maka sekolah tidak hanya menjadi tempat belajar ilmu, tetapi juga tempat tumbuhnya rasa aman, empati, dan karakter mulia.
