Gen Z Rapuh: 5 Alasan di Balik Kerentanan Mental Generasi Teranyar

Gen Z rapuh bukan sekadar stereotipe — riset terbaru menunjukkan ada sejumlah faktor kuat yang memang meningkatkan kerentanan mental generasi ini. Berikut lima penyebab utama:
1. Ketergantungan Media Sosial & Efek “Brain Rot”
Era digital menyajikan kemudahan, namun juga bahaya. Kecenderungan Gen Z rapuh muncul dari konsumsi pasif media sosial yang berlebihan. Fenomena “brain rot”—penurunan fungsi kognitif akibat doom-scrolling—menyebabkan stres, kecemasan, dan gangguan tidur. Selain itu, media sosial telah dikaitkan dengan gejala kecemasan dan depresi, terutama pada pengguna di bawah 24 tahun.
2. Tekanan Akademis, Karier, dan Ketidakpastian Masa Depan
Hampir 50% Gen Z di Indonesia melaporkan tekanan mental akibat tuntutan akademis, sosial, dan pekerjaan. Studi lokal menunjukkan bahwa kelebihan digital, tuntutan kompetitif, sekaligus kekhawatiran terhadap masa depan memperparah stres dan kelelahan emosional mereka.
3. FOMO, Komparasi Sosial, & Self-Esteem Terkikis
Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) dan kecemasan sosial makin marak di kalangan Gen Z. Penelitian menunjukkan bahwa intensitas penggunaan media sosial meningkatkan FOMO, yang berujung pada rasa kurang percaya diri dan isolasi sosial. Selain itu, remaja Gen Z dengan ketergantungan media sosial rendah memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik.
4. Body Image & Unrealistic Beauty Standards
TikTok dan platform visual lainnya memperkuat tekanan citra tubuh—dari body shaming hingga ideal tubuh yang tak realistis. Studi di Indonesia menunjukkan bahwa perbandingan penampilan (upward comparison) dan internalisasi “thin ideal” berdampak negatif pada kepuasan terhadap tubuh. Ditambah lagi, penggunaan filter seperti “Instagram Face” memicu dysmorphia dan rasa rendah diri.
5. “Healing Culture” Sebagai Upaya Mengatasi Kerentanan
Di tengah kerentanan itu, Gen Z Indonesia banyak memilih budaya “healing” untuk mengatasi stres. Aktivitas seperti meditasi, yoga, dan rutinitas self-care populer sebagai strategi emosional. Muncul pula peluang bagi merek dan institusi wellness untuk mendorong kesehatan mental positif di kalangan generasi ini.
Solusi untuk Menguatkan Gen Z
- Digital Literacy & Batas Waktu Media Sosial
Kurangi doom-scrolling; advocasi digital sehat penting. - Intervensi Edukasi & Kesehatan Mental Sekolah
Program budi pekerti, koping strategi, dan literasi psikologis perlu diperkuat di sekolah. - Dukungan ke Komunitas Mental Health
Misalnya seperti Into The Light Indonesia yang aktif mengadvokasi pencegahan bunuh diri dan pendidikan kesehatan mental. - Orang Tua & Institusi Perlu Membiarkan Gen Z “Jatuh Bangun”
Jangan terlalu memanjakan; ketangguhan tumbuh dari pengalaman nyata.
Faktor Penyebab Gen Z Rapuh | Dampak & Penjelasan |
---|---|
Media Sosial & Brain Rot | Konsumsi pasif memicu stres, kecemasan, gangguan tidur |
Tekanan Akademis & Karier | Kompetisi tinggi dan ketidakpastian akibat era digital |
FOMO & Social Comparison | Rendahnya self-esteem akibat rasa ketinggalan dan tekanan peer |
Body Image Negatif | Ideal tubuh tidak realistis merusak citra diri Gen Z |
Healing Culture | Berupaya mengobati stres melalui rutinitas wellness |
Menyikapi “Gen Z Rapuh” dalam Era Krisis Global
Gen Z Rapuh bukan sekadar fenomena lokal—ini adalah krisis global yang nyata. Penelitian terbaru dari profesor David Blanchflower menunjukkan bahwa orang-orang muda, terutama dari generasi Z, melaporkan tingkat tekanan mental yang lebih tinggi dibandingkan generasi lainnya, seperti pada masa paruh baya. Dalam survei Gallup–Walton Foundation tahun 2025, hanya 39 % Gen Z merasa “berkembang” (thriving), turun signifikan dibanding tahun sebelumnya.
Faktor-Faktor Global yang Memperparah Kerentanan Gen Z
- Konsumsi Berita dan Overload Emosional
Sebanyak 60 % Gen Z merasa kewalahan oleh arus berita global—mulai dari konflik geopolitik hingga krisis iklim. Paparan ini mengikis perasaan aman dan kendali mereka terhadap masa depan. - Ketakutan terhadap Masa Depan dan Ketidaksetaraan Ekonomi
Survei Harvard menemukan bahwa 56 % Gen Z merasakan tekanan finansial secara negatif terhadap kesehatan mental mereka, dan 51 % mengalami tekanan berprestasi tinggi. Di AS, beban utang dan biaya hidup yang tinggi juga memperparah perasaan Gen Z Rapuh. - Keterbukaan Emosional vs. Keterbatasan Sistem Pendukung
Walaupun generasi Z lebih terbuka tentang kesehatan mental, stigma dan akses yang terbatas masih menjadi masalah. Sekitar 40 % masih merasakan stigma di lingkungan sekolah atau kerja.
Respons dan Bertahan: Apa yang Dikerjakan dan Diharapkan
- Banyak Gen Z mulai menerapkan strategi coping kreatif—self-care, meditasi, jurnal digital, hobi kreatif—untuk meredam stres.
- UNICEF menekankan pentingnya peran sekolah dan pemberi kerja dalam membantu Gen Z mengelola tekanan: 74 % berharap sekolah berperan, dan 60 % melihat employer sebagai dukungan positif.
- Dalam dunia profesional, para peneliti seperti Jonathan Haidt menyarankan pendekatan “anti-fragility”—memberi tantangan dan feedback langsung untuk membantu Gen Z tumbuh mental
Fenomena Gen Z rapuh memang memiliki dasar riset kuat dan realita sosial. Namun, dengan pemahaman, edukasi, dan dukungan yang tepat, generasi ini bisa jadi lebih tangguh, kreatif, dan resilien menghadapi tantangan masa kini.
Fenomena Gen Z Rapuh mencerminkan dampak nyata dari ketidakpastian global, tekanan media digital, dan ekspektasi sosial-ekonomi tinggi yang belum didukung dengan sistem kesehatan mental memadai. Namun, generasi ini tidak pasif—mereka mencari cara baru seperti self-care, komunikasi terbuka, dan advocacy untuk membangun resilien. Kunci ke depan adalah memperkuat dukungan struktural melalui institusi pendidikan, tempat kerja, dan kebijakan publik agar potensi dan ketangguhan Gen Z bisa berkembang, bukan terkikis oleh sistem yang tidak dirancang untuk mereka.